Cerpen pendek tentang kehilangan ini menggambarkan kisah sederhana yang menyentuh hati, tentang kenangan dan rindu seorang anak terhadap ayahnya. Sebuah kisah kecil, namun menyimpan makna besar tentang keikhlasan dan menjaga warisan kenangan dalam diam.
Hujan turun pelan di sore itu. Air menggenang tipis di teras rumah, membasahi sepasang sandal karet usang yang tergeletak di sudut kanan. Dina memperhatikannya dari balik tirai jendela. Itu bukan sembarang sandal—itu milik almarhum Ayah. Sandal yang biasa dipakai ke warung, menyapu halaman, atau duduk memandangi langit sambil menyeruput kopi.
Sudah tiga bulan Ayah pergi. Serangan jantung yang datang tiba-tiba menghapus semua kemungkinan untuk mengucapkan selamat tinggal. Tapi sandal itu tetap di sana, tak ada yang berani memindahkannya. Seolah semua sepakat, sandal itu adalah bagian dari Ayah yang belum siap untuk dilepas.
Dina membuka pintu perlahan. Angin dingin menyambutnya, dan bau tanah basah menyengat hidungnya. Ia melangkah ke teras, mendekati sandal itu. Tangannya gemetar saat menyentuhnya. Ada rasa hangat yang aneh, meski benda itu basah dan kusam. Ia menutup matanya, membiarkan kenangan mengalir.
Menjaga yang Telah Pergi Lewat Kenangan
Dalam diam, Dina mengingat hari-hari saat Ayah masih ada. Ia teringat suara langkah kaki, tawa ringan, dan suara khas Ayah saat memanggil namanya. Semua kenangan itu tidak hadir sebagai air mata, tapi sebagai pelukan halus di hati yang menenangkan.
Dina tidak menangis. Ia tahu, kehilangan adalah bagian dari hidup. Tapi mengenang, merawat, dan menjaga apa yang ditinggalkan adalah bentuk cinta yang lain. Ia membawa sandal itu masuk, membersihkannya perlahan, lalu meletakkannya di rak kayu tempat Ayah biasa menyimpan koran dan topi favoritnya.
“Tenang, Yah,” bisiknya pelan. “Sandal ini akan tetap di sini.”
Kesimpulan Cerpen
Cerpen pendek tentang kehilangan ini menyiratkan bahwa duka tidak selalu harus diluapkan dengan tangis. Kadang, cukup dengan merawat satu benda sederhana, kenangan tetap bisa hidup selamanya. Sepasang sandal di teras menjadi simbol bahwa cinta tidak pernah benar-benar pergi, ia hanya berpindah tempat—ke dalam hati yang mau menjaga.


